google.com, pub-6438527674002052, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Kategori
Repositori

Menggali Fondasi Jurnalisme yang Bertanggung Jawab: Tinjauan “Dasar Dasar Jurnalistik”

Dalam era banjir informasi dan disinformasi, peran jurnalisme yang profesional, etis, dan berintegritas tidak pernah sempenting ini. Setiap hari, publik dibombardir oleh berita dari berbagai sumber, mulai dari media arus utama yang terverifikasi hingga akun media sosial yang abu-abu. Di tengah pusaran ini, memahami prinsip-prinsip dasar jurnalistik menjadi kebutuhan mendesak, bukan hanya bagi calon jurnalis, tetapi juga bagi setiap warga negara yang ingin menjadi konsumen media yang cerdas.

Dasar Dasar Jurnalistik

Buku “Dasar Dasar Jurnalistik” karya Muhammad Abid, S.Fil., M.Si., yang terbit pada Agustus 2024, hadir sebagai sebuah peta navigasi yang komprehensif untuk memahami dunia pemberitaan yang kompleks.

Buku ini disusun secara sistematis, layaknya sebuah modul pembelajaran, dengan capaian pembelajaran, tujuan materi, dan metode yang jelas. Struktur ini tidak hanya menunjukkan pendekatan akademis penulis tetapi juga memudahkan pembaca, baik mahasiswa maupun umum, untuk menyerap setiap konsep secara bertahap. Artikel ini akan menggali intisari dari buku tersebut, merangkum pokok-pokok pikiran mendasar yang membentuk kerangka jurnalisme yang bertanggung jawab.

Pilar Pertama: Sejarah, Definisi, dan Prinsip Dasar

Buku Abid membuka pembahasannya dengan menancapkan fondasi historis. Memahami sejarah dan perkembangan jurnalistik—dari lembaran berita pertama (acta diurna) di Roma Kuno, revolusi mesin cetak Gutenberg, hingga era digital—adalah kunci untuk menyadari bahwa jurnalisme selalu berevolusi menyesuaikan dengan teknologi zamannya. Namun, di balik evolusi itu, fungsi utamanya tetap konstan: menyampaikan informasi, mendidik, mengawasi kekuasaan (control function), dan menghibur.

Penulis kemudian menjabarkan definisi jurnalistik bukan sekadar sebagai kegiatan pelaporan, tetapi sebagai proses pengumpulan, pengolahan, dan penyebarluasan informasi tentang peristiwa aktual dan faktual kepada khalayak melalui media massa. Peran sentralnya dalam masyarakat demokratis ditekankan sebagai “the fourth estate” atau pilar keempat demokrasi yang bekerja berdampingan dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk menciptakan checks and balances.

Pondasi ini diperkuat oleh prinsip-prinsip dasar yang tidak boleh goyah: akurasi, keberimbangan (balance), imparsialitas (tidak memihak), dan independensi. Akurasi adalah yang paling sakral; sebuah berita yang keliru, sesederhana apapun, dapat merusak kepercayaan publik dan memiliki konsekuensi riil. Keberimbangan memastikan semua pihak yang relevan dalam sebuah peristiwa mendapat porsi suara yang layak. Sementara itu, independensi menuntut jurnalis bebas dari kepentingan politik, bisnis, atau kelompok tertentu yang dapat mengaburkan objektivitas pemberitaan.

Benteng Moral: Etika dan Kode Etik Jurnalistik

Jika prinsip dasar adalah fondasi, maka etika adalah benteng moral yang melindungi integritas jurnalisme. Bab kedua buku ini secara mendalam mengupas Kode Etik Jurnalistik yang di Indonesia, antara lain, menjunjung tinggi prinsip-prinsip seperti verifikasi, tidak menyebarkan kebencian, menghargai privasi, dan menyajikan fakta dengan jelas antara berita dan opini.

Muhammad Abid tidak hanya menyajikan teori tetapi memperkuatnya dengan contoh kasus pelanggaran etika. Analisis kasus-kasus seperti pemberitaan yang merugikan nama baik, plagiarisme, atau konflik kepentingan memberikan pelajaran nyata tentang bagaimana batasan etis itu dilanggar dan apa dampaknya. Bagian tentang tanggung jawab sosial dan moral seorang jurnalis menegaskan bahwa profesi ini bukan sekadar mencari berita, tetapi memikul amanah besar untuk kebenaran dan keadilan. Seorang jurnalis adalah wajah publik dari conscience society, suara hati masyarakat.

Ragam Bentuk dan Medium: Dari Cetak hingga Digital

Jurnalisme bukanlah entitas yang monolitik. Buku ini dengan sangat baik mengelaborasi berbagai jenis jurnalistik, membantu pembaca membedakan karakteristik masing-masing. Pembagian klasik seperti jurnalistik cetak, elektronik (radio dan TV), dan online dijelaskan dengan keunikan gaya tulisan, kecepatan, dan engagement-nya dengan audiens.

Lebih jauh, penulis membedakan berdasarkan bentuk liputan: jurnalistik investigasi yang mendalam dan membutuhkan waktu lama untuk mengungkap skandal atau ketidakadilan; berita keras (hard news) yang menyajikan informasi pokok 5W+1H secara langsung dan aktual; serta feature yang lebih manusiawi, mendalam, dan menekankan pada sisi cerita (storytelling) yang menarik. Pemahaman atas perbedaan ini penting untuk mengetahui ekspektasi sebagai pembaca dan tantangan sebagai pembuat konten.

Bab tentang Jurnalisme Online menjadi sangat relevan. Abid menguraikan karakteristik utamanya: kecepatan, interaktivitas, hypertextuality (tautan), dan multimedia. Buku ini juga secara kritis membahas penggunaan media sosial—sebagai alat untuk mencari sumber, menyebarkan berita, dan berinteraksi dengan audiens, tetapi juga sekaligus sumber besar tantangan seperti hoaks, ujaran kebencian, dan tekanan untuk menjadi viral yang seringkali mengorbankan akurasi.

Keterampilan Inti: Meliput, Menulis, dan Memotret

Bagian praktis dari buku ini adalah panduan komprehensif untuk keterampilan jurnalistik inti. Bab Penulisan Berita menekankan kembali pentingnya struktur piramida terbalik dan rumus 5W+1H (What, Who, When, Where, Why, How) sebagai tulang punggung berita yang informatif dan efisien. Teknik menulis “lead” atau intro yang kuat—kalimat pembuka yang dirancang untuk langsung menarik perhatian pembaca—dijelaskan dengan berbagai contohnya.

Bab Wawancara dan Pengumpulan Informasi mengajarkan seni mengajukan pertanyaan yang tepat, teknik mendengarkan aktif, dan yang paling krusial: seni verifikasi. Di zaman ini, memverifikasi informasi dari sumber online adalah keterampilan survival bagi jurnalis. Buku ini membahas cara menilai kredibilitas sumber, melakukan cross-check, dan menghindari jebakan informasi yang belum terkonfirmasi.

Selain kata, gambar juga adalah narasi. Bab Fotografi dan Videografi Jurnalistik menekankan bahwa gambar jurnalistik bukan sekadar ilustrasi, tetapi bagian dari berita itu sendiri. Prinsip dasarnya adalah kejujuran—tidak merekayasa, tidak memanipulasi konteks, dan menghormati subjek yang diliput. Etika dalam memotret korban bencana atau situasi konflik dibahas dengan sensitivitas yang tinggi.

Ruang Gerak dan Batasan: Hukum dan Krisis

Tidak ada jurnalisme yang beroperasi dalam ruang hampa. Ia diatur oleh Hukum dan Regulasi yang menjamin kebebasannya tetapi juga memberikan batasan. Buku Abid menjelaskan landasan hukum kebebasan pers di Indonesia, perlindungan yang dimiliki jurnalis seperti hak tolak (untuk melindungi sumber rahasia), serta batasan hukumnya seperti pencemaran nama baik, penghasutan, dan undang-undang terkait rahasia negara. Pemahaman ini penting agar jurnalis dapat bekerja secara profesional tanpa melanggar hukum.

Puncak dari tantangan jurnalistik mungkin terletak pada Krisis dan Manajemen Berita. Meliput di tengah bencana alam, kerusuhan, atau wilayah konflik membutuhkan persiapan fisik, mental, dan teknis yang khusus. Buku ini memberikan panduan praktis tentang teknik meliput yang aman, menjaga keselamatan diri dan tim, sambil tetap menjunjung tinggi etika—misalnya, tidak mengeksploitasi penderitaan korban. Tantangan seperti tekanan psikologis (trauma) bagi jurnalis yang meliput perang juga disinggung, menunjukkan bahwa aspek manusiawi dari profesi ini tidak diabaikan.

Kesimpulan: Sebuah Panduan Esensial di Zaman yang Berisik

“Dasar Dasar Jurnalistik” oleh Muhammad Abid bukan sekadar buku teori. Ia adalah sebuah manual yang lengkap, yang berhasil menjembatani antara konsep-konsep filosofis seperti etika dan prinsip dasar dengan keterampilan yang sangat praktis seperti menulis lead dan melakukan wawancara.

Di tengah gempuran misinformasi yang merusak demokrasi dan kohesi sosial, kehadiran buku ini sangat tepat waktu. Ia mengingatkan semua pihak—praktisi media, akademisi, dan terutama masyarakat—bahwa jurnalisme yang baik adalah jurnalisme yang berpegang teguh pada kebenaran, independensi, dan akuntabilitas. Buku ini tidak hanya mengajarkan bagaimana menjadi jurnalis yang kompeten, tetapi juga membentuk kita semua untuk menjadi warga negara yang kritis dan cerdas dalam mencerna informasi. Pada akhirnya, dengan memperkuat fondasi jurnalisme, kita turut memperkuat fondasi masyarakat demokratis itu sendiri.

Informasi Pemesanan

📞 HP: 085145459727
📧 Email: aconasir@mail.unasman.ac.id
🌐 Website: www.cvcemerlangpublishing.com

Dapatkan buku ini dan tingkatkan kualitas penelitian Anda di era disrupsi ini!

Klik Saya Mau Beli

Rekomendasi bagi pendidik modern

Rp95000.00 Rp75000.00

Pos








Kategori
Repositori

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

Mengurai Benang Kusut Masyarakat: Perspektif Sosiologi Komunikasi dalam Memahami Interaksi Manusia

Dunia modern adalah dunia yang dibangun dari komunikasi. Setiap detik, miliaran pesan melintas melalui berbagai saluran, membentuk opini, membangun hubungan, dan mengkonstruksi realitas sosial. Namun, di balik tindakan sederhana seperti mengirim pesan, mengobrol, atau bahkan memilih untuk diam, tersembunyi suatu struktur yang kompleks. Untuk memahami kompleksitas inilah lahir bidang ilmu yang mendalam: Sosiologi Komunikasi. Buku “Sosiologi Komunikasi” karya Muhammad Abid, S.Fil., M.Si. (CV. Cemerlang Publishing, 2025) hadir sebagai sebuah peta komprehensif untuk menavigasi wilayah interdisipliner yang menarik ini. Artikel ini akan menguraikan inti sari pemikiran dari buku tersebut, menjelaskan bagaimana sosiologi dan komunikasi berkelindan dalam memahami hakikat interaksi manusia.

Rp145000.00 Rp90000.00

Pertemuan Dua Disiplin: Sosiologi dan Komunikasi

Buku ini membuka pembahasannya dengan mendefinisikan secara jelas kedua ilmu yang menjadi pondasinya. Sosiologi dipahami bukan sekadar ilmu tentang masyarakat, tetapi lebih sebagai ilmu yang mempelajari pola-pola interaksi, hubungan sosial, dan struktur yang mengatur kehidupan kolektif manusia. Ruang lingkupnya mencakup berbagai konsep fundamental seperti nilai, norma, status, peran, kelompok sosial, stratifikasi, dan kekuasaan. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” masyarakat terbentuk, bertahan, dan berubah.

Di sisi lain, komunikasi adalah proses di mana makna ditransmisikan dan dibagikan melalui simbol-simbol. Ia adalah darahnya kehidupan sosial, medium di mana semua interaksi sosial terjadi. Muhammad Abid menegaskan bahwa hubungan antara keduanya adalah hubungan simbiosis dan dialektis. Di satu sisi, struktur sosial memengaruhi proses komunikasi. Latar belakang budaya, kelas sosial, dan norma masyarakat akan membentuk cara seseorang berkomunikasi. Di sisi lain, komunikasi justru menciptakan dan mereproduksi struktur sosial itu sendiri. Melalui percakapan, pemberitaan media, dan diskursus publik, realitas sosial terus-menerus dibangun dan dinegosiasikan. Dengan demikian, Sosiologi Komunikasi adalah lensa untuk melihat proses dua arah ini: bagaimana masyarakat membentuk komunikasi, dan bagaimana komunikasi membentuk masyarakat.

Perspektif Teoretis: Lensa untuk Membaca Realitas

Sebelum menyelami lebih dalam, buku ini terlebih dahulu membekali pembaca dengan pemahaman tentang perspektif. Dalam ilmu sosial, perspektif adalah seperangkat asumsi dan konsep yang digunakan untuk melihat realitas. Ia ibarat kacamata teoritis yang menentukan apa yang kita lihat dan bagaimana kita menafsirkannya.

Buku karya Abid ini menyoroti beberapa perspektif utama, dengan fokus kuat pada Interaksionisme Simbolik sebagai perspektif sentral dalam Sosiologi Komunikasi. Perspektif ini, yang berakar dari pemikiran George Herbert Mead dan kemudian dikembangkan oleh Herbert Blumer, berargumen bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi mereka. Makna itu sendiri diperoleh dan dimodifikasi melalui proses interpretasi dalam interaksi sosial dengan orang lain.

Dua perspektif lain yang turut dibahas adalah Perspektif Kelompok Rujukan (Reference Group) dan Pendekatan Interpretatif dan Kritikal. Kelompok Rujukan—baik yang bersifat membership maupun non-membership—menjadi standar bagi individu untuk mengevaluasi diri dan membentuk sikap serta perilakunya. Sementara itu, pendekatan interpretatif (seperti Hermeneutika dan Fenomenologi) menekankan pada pemahaman (verstehen) terhadap pengalaman subjektif individu dalam dunia kehidupan mereka (lifeworld). Pendekatan kritikal, seperti Mazhab Frankfurt, menantang kita untuk melihat di balik komunikasi yang tampak alamiah untuk mengungkap relasi kuasa dan dominasi yang tersembunyi di dalamnya.

Buku Ajar KOMUNIKASI

Interaksionisme Simbolik: Jiwa, Diri, dan Simbol

Inti dari buku ini terletak pada pembahasan mendalam tentang Interaksionisme Simbolik. Perspektif ini dibedah menjadi tiga konsep kunci yang saling berhubungan: Mind (Akal-Pikiran), Self (Diri), dan Society (Masyarakat).

  1. Hakikat Simbol: Manusia adalah animal symbolicum (makhluk simbolik). Kita menggunakan simbol—terutama bahasa—untuk merepresentasikan pikiran, perasaan, dan ide. Yang membedakan simbol dari tanda adalah kemampuannya yang arbitrer dan konvensional. Makna kata “cinta”, misalnya, bukanlah sesuatu yang melekat pada susunan hurufnya, tetapi merupakan hasil kesepakatan sosial dan interpretasi yang terus berkembang. Pemahaman akan hakikat simbol ini penting karena seluruh proses komunikasi manusia dibangun di atasnya.
  2. Konsep Diri (The Self): Konsep paling revolusioner dari Mead adalah gagasan bahwa diri (self) bukanlah sesuatu yang given, tetapi dikonstruksi secara sosial melalui interaksi. Diri berkembang melalui proses melihat diri sendiri dari perspektif orang lain. Mead membaginya menjadi dua fase:
    1. The “I” (Aku-Spontan): merupakan bagian diri yang impulsif, kreatif, dan spontan. Ini adalah respon individu terhadap sikap orang lain.
    1. The “Me” (Aku-Terstruktur): merupakan kumpulan sikap terorganisir dari orang lain (masyarakat) yang telah diinternalisasikan oleh individu. “Me” adalah gambaran diri kita yang kita pahami dari cara orang lain memandang kita.
      Pertumbuhan diri yang sehat terjadi melalui dialektika antara “I” dan “Me”. Proses evaluasi diri (self-evaluation) dan pembentukan identitas juga terjadi melalui cermin yang diberikan oleh orang lain dalam masyarakat.
  3. Mind (Akal-Pikiran): Bukan sekadar otak, melainkan kemampuan untuk menggunakan simbol yang bermakna untuk berpikir secara internal. Kemampuan ini memungkinkan kita untuk melakukan role-taking (pengambilan peran), yaitu membayangkan diri kita berada di posisi orang lain dan memprediksi respons mereka. Inilah yang memungkinkan interaksi sosial yang terarah dan bermakna.

Pengambilan Peran dan Tindakan Sosial: Mekanisme Interaksi

Konsep Pengambilan Peran (Role-Taking) adalah mekanisme praktis yang menjembatani teori dengan realitas interaksi. Ini adalah proses imajinatif di mana individu mencoba melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Kemampuan ini dimulai sejak masa kanak-kanak (dari play stage ke game stage) dan menjadi fondasi bagi terciptanya kerja sama, empati, dan tatanan sosial.

Melalui pengambilan peran, individu dapat mengkoordinasikan tindakan mereka dengan orang lain. Tindakan manusia, dalam perspektif ini, bukanlah reaksi otomatis terhadap stimulus, melainkan tindakan sosial yang penuh makna. Setiap tindakan didahului oleh proses interpretasi internal di mana individu memberi makna pada situasi, merumuskan tujuan, dan mempertimbangkan respon dari pihak lain. Dengan demikian, masyarakat tidak dijalankan seperti mesin, tetapi melalui proses negosiasi makna yang terus-menerus dan dinamis.

Implikasi Teoretis dan Konklusi

Buku “Sosiologi Komunikasi” Muhammad Abid pada akhirnya mengajak kita untuk melihat komunikasi bukan sebagai transmisi pesan yang linear, tetapi sebagai proses konstruksi realitas sosial yang kompleks. Setiap interaksi, dari yang paling intim hingga yang paling publik, adalah bagian dari proses membangun, memelihara, dan mengubah dunia sosial yang kita huni bersama.

Pemahaman ini memiliki implikasi yang luas. Dalam pendidikan, pendekatan ini menekankan pentingnya lingkungan sosial dan interaksi dalam membentuk konsep diri peserta didik. Dalam komunikasi massa, ia mengajak kita untuk kritis terhadap bagaimana media membingkai realitas dan membentuk agenda publik. Dalam kehidupan organisasi, memahami role-taking dapat meningkatkan kolaborasi dan resolusi konflik. Bahkan dalam dunia digital sekalipun, di mana interaksi seringkali termediasi, konsep diri, simbol, dan pengambilan peran tetap berlaku, meski dengan dinamika yang baru.

Kesimpulannya, buku ini berhasil menjabarkan dengan jelas bahwa Sosiologi Komunikasi memberikan alat analisis yang sangat powerful. Ia menyediakan lensa untuk melihat bahwa di balik percakapan sehari-hari, tersembunyi proses pembentukan makna, negosiasi identitas, dan reproduksi struktur sosial yang sangat rumit. Dengan berlandaskan pada fondasi Interaksionisme Simbolik yang kokoh, Muhammad Abid tidak hanya memberikan teori, tetapi juga mengajak pembaca untuk menjadi pengamat yang lebih cermat terhadap drama sosial yang terjadi di sekitar mereka. Pada akhirnya, memahami Sosiologi Komunikasi adalah memahami benang-benang simbolik yang menyatu, membentuk tenun yang kita sebut sebagai masyarakat.

References

Parsons, T. (1951). The Social System. New York: Free Press.

Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Garden City, NY: Doubleday.

McCall, G. J., & Simmons, J. L. (1978). Identities and Interactions: An Examination of Human Associations in Everyday Life (Rev. ed.). New York: Free Press.

Secord, P. F., & Backman, C. W. (1974). Social Psychology. New York: McGraw-Hill.

Weinstein, E. A. (1969). The development of interpersonal competence. In D. A. Goslin (Ed.), Handbook of socialization theory and research (pp. 753–775). Chicago: Rand McNally.

Hart, R. P., & Burks, D. M. (1972). Rhetorical sensitivity and social interaction. Speech Monographs, 39(2), 75–91. https://doi.org/10.1080/03637757209375733

Wiemann, J. M. (1977). Explication and test of a model of communicative competence. Human Communication Research, 3(3), 195–213. https://doi.org/10.1111/j.1468-2958.1977.tb00518.x

Husserl, E. (1970). The crisis of European sciences and transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Evanston, IL: Northwestern University Press. (Original work published 1936)

Schutz, A. (1967). The phenomenology of the social world (G. Walsh & F. Lehnert, Trans.). Evanston, IL: Northwestern University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum. (Original work published 1960)

Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the human sciences: Essays on language, action and interpretation (J. B. Thompson, Ed. & Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Schutz, A. (1967). The phenomenology of the social world (G. Walsh & F. Lehnert, Trans.). Evanston, IL: Northwestern University Press.

Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the human sciences: Essays on language, action and interpretation (J. B. Thompson, Ed. & Trans.). Cambridge: Cambridge University Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method (J. Weinsheimer & D. G. Marshall, Trans.). New York: Continuum. (Original work published 1960)

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action, Volume I: Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.

Tong, R. (2009). Feminist thought: A more comprehensive introduction (3rd ed.). Boulder, CO: Westview Press.

Truman, D. B. (1951). The governmental process: Political interests and public opinion. New York: Knopf.

Marx, K., & Engels, F. (1970). The German ideology (C. J. Arthur, Ed.). New York: International Publishers.

Hall, S. (1980). Cultural studies: Two paradigms. Media, Culture & Society, 2(1), 57–72.

Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Volume 1. Reason and the rationalization of society (T. McCarthy, Trans.). Boston: Beacon Press.

Calhoun, C. (1995). Critical social theory: Culture, history, and the challenge of difference. Malden, MA: Blackwell.
Alvesson, M., & Deetz, S. (2000). Doing critical management research. London: SAGE.

Schutz, A. (1967). The phenomenology of the social world. Evanston, IL: Northwestern University Press.
Habermas, J. (1984). The theory of communicative action: Volume 1. Boston: Beacon Press.

Gadamer, H.-G. (2004). Truth and method. New York: Continuum.
Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the human sciences. Cambridge: Cambridge University Press.

Alvesson, M., & Sköldberg, K. (2017). Reflexive methodology: New vistas for qualitative research (3rd ed.). London: SAGE Publications.